Indonesia dengan jumlah penduduk lebih dari 200 juta jiwa, memiliki lebih kurang 30.000 spesies tumbuhan dan 940 spesies di antaranya termasuk tumbuhan berkhasiat (180 spesies telah dimanfaatkan oleh industri jamu tradisional) merupakan potensi pasar obat herbal dan fitofarmaka. Penggunaan bahan alam sebagai obat tradisional di Indonesia telah dilakukan oleh nenek moyang kita sejak berabad-abad yang lalu terbukti dari adanya naskah lama pada daun lontar Husodo (Jawa), Usada (Bali), Lontarak pabbura (Sulawesi Selatan), dokumen Serat Primbon Jampi, Serat Racikan Boreh Wulang nDalem dan relief candi Borobudur yang menggambarkan orang sedang meracik obat (jamu) dengan tumbuhan sebagai bahan bakunya. Obat herbal telah diterima secara luas di negara berkembang dan di negara maju. Menurut WHO (Badan Kesehatan Dunia) hingga 65% dari penduduk negara maju dan 80 % dari penduduk negara berkembang telah menggunakan obat herbal. Faktor pendorong terjadinya peningkatan penggunaan obat herbal di negara maju adalah usia harapan hidup yang lebih panjang pada saat prevalensi penyakit kronik meningkat, adanya kegagalan penggunaan obat modern untuk penyakit tertentu di antaranya kanker serta semakin luas akses informasi mengenai obat herbal di seluruh dunia. Pada th 2000 diperkirakan penjualan obat herbal di dunia mencapai US$ 60 milyar.
WHO merekomendasi penggunaan obat tradisional termasuk herbal dalam pemeliharaan kesehatan masyarakat, pencegahan dan pengobatan penyakit, terutama untuk penyakit kronis, penyakit degeneratif dan kanker. Hal ini menunjukkan dukungan WHO untuk back to nature yang dalam hal tertentu lebih menguntungkan. Untuk meningkatkan keselektifan pengobatan dan mengurangi pengaruh musim dan tempat asal tanaman terhadap efek, serta lebih memudahkan dalam standardisasi bahan obat maka zat aktif diekstraksi lalu dibuat sediaan fitofarmaka atau bahkan dimurnikan sampai diperoleh zat murni Di Indonesia, dari tahun ke tahun terjadi peningkatan industri obat tradisional, menurut data dari Badan Pengawas Obat dan Makanan sampai th 2002 terdapat 1.012 industri obat tradisional yang memiliki izin usaha industri yang terdiri dari 105 industri berskala besar dan 907 industri berskala kecil. Karena banyaknya variasi sediaan bahan alam maka untuk memudahkan pengawasan dan perizinan maka Badan POM mengelompokkan dalam sediaan jamu, sediaan herbal terstandar dan sediaan fitofarmaka. Persyaratan ketiga sediaan berbeda yaitu untuk jamu pemakaiannya secara empirik berdasarkan pengalaman, sediaan herbal terstandar bahan bakunya harus distandardisasi dan sudah diuji farmakologi secara eksperimental sedangkan sediaan fitofarmaka sama dengan obat modern bahan bakunya harus distandardisasi dan harus melalui uji klinik.
Dalam upaya peningkatan pemanfaatan bahan alam Indonesia yang terjamin keamanannya, Badan POM bekerja sama dengan beberapa perguruan tinggi termasuk ITB sedang meneliti 9 tanaman obat unggulan nasional sampai ke uji klinis. Tanaman tersebut adalah salam, sambiloto, kunyit, jahe merah, jati belanda, temulawak, jambu biji, cabe Jawa dan mengkudu.
Dengan melihat jumlah tanaman di Indonesia yang berlimpah dan baru 180 tanaman yang digunakan sebagai bahan obat tradisional oleh industri maka peluang bagi profesi kefarmasian untuk meningkatkan peran sediaan herbal dalam pembangunan kesehatan masih terbuka lebar. Standardisasi bahan baku dan obat jadi, pembuktian efek farmakologi dan informasi tingkat keamanan obat herbal merupakan tantangan bagi farmasis agar obat herbal semakin dapat diterima oleh masyarakat luas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar