Selasa, 26 April 2011

Mitos Potensi Otak

Minggu, 24 April 2011 - Para motivator atau penjual jasa belajar ajaib sering mengatakan kalau kita bisa mencapai 100% potensi otak kita lewat cara mereka seolah mereka memang telah menunjukkan potensi otak 100%. Lalu jika sudah 100% potensi otak mengapa biasa saja? Fakil sudah pernah membahas mitos 10% otak. Mitos kali ini berbeda karena ada yang mengkritik kalau yang dikatakan fakil adalah proporsi otak, bukan potensi otak. Mari kita lihat kalau kedua hal ini sama-sama mitos.


Kita semua lahir dengan lebih dari 100 miliar sel otak atau neuron. Ini modal dan tidak akan dapat bertambah lagi di masa depan. Sel otak adalah satu-satunya sel di tubuh manusia yang tidak membelah dan beregenerasi. Begitu rusak, tidak ada penggantinya.
Angka 100 miliar sangat besar. Itu setara dengan jumlah bintang di galaksi Bima Sakti atau sekitar 20 kali jumlah manusia yang ada di Bumi sekarang. Sebuah modal yang sangat besar dan modal ini berpotensi lebih besar lagi.
Sebuah sel otak memiliki cabang-cabang atau dendrit yang muncul dari badan selnya. Dendrit ini mengambil sinyal kimia disekujur sinapsis dan sinyalnya kemudian disalurkan ke akson. Setiap cabang akson memiliki sebuah kantung yang mengandung neurotransmitter di ujungnya. Sinyal listrik menyebabkan pelepasan neurotransmitter ini, yang pada gilirannya merangsang atau menghambat dendrit tetangganya, seperti saklar lampu on-off.
Nah inilah yang sering dibangga-banggakan para motivator. Setiap sel otak dapat terhubung dengan 15 ribu sel otak lainnya. Berani membayangkan? Ini artinya karena ada 100 miliar sel otak, dan setiap sel punya hubungan ke 15 ribu sel otak lain, maka ada sambungan yang luar biasa besar. Benar-benar banyak, melebihi jumlah bintang di alam semesta.
Selanjutnya fakta lain adalah sejak lahir jumlah sambungan di otak bayi bertambah. Pada tahun pertama hidup, lonjakan jumlah sambungan begitu besar. Cara kerjanya begini, bila seorang ibu mengulang nama anak, maka suara ibu akan menjadi informasi yang masuk ke otak anak, dan otak akan membentuk sambungan baru yang memungkinkan sang anak mengenali nama tersebut di masa datang. Dengan kata lain, sambungan yang ada menunjukkan kalau ada informasi baru.
Dari lahir, otak terus menciptakan sambungan-sambungan yang membentuk perilaku kita, pikiran kita, kesadaran, ingatan dan sebagainya. Ya, yang anda sebut hati nurani atau jiwa hanyalah sambungan-sambungan yang terbentuk di otak.
Pada usia 3 tahun, otak bayi telah membentuk seribu triliun sambungan. Hal inilah yang kita lihat pada cepatnya bayi belajar bahasa, bagaimana cepatnya bayi belajar dsb.
Distorsi Komersil
Sampai fakta di atas, kita sudah belajar kalau belajar meningkatkan jumlah sambungan di otak. Semakin banyak belajar semakin banyak sambungan. Karena ada potensi 15 ribu sambungan di setiap sel otak yang jumlahnya ada 100 miliar, maka mungkin saja, kita seharusnya bisa memanfaatkan potensi ini. Kita bisa belajar luar biasa banyaknya. Dan dari asumsi inilah mitosnya berasal.
Terlebih lagi, ditemukan kalau otak orang dewasa hanya rata-rata memiliki 500 triliun sambungan, separuh sambungan di otak bayi. Jadi katanya para penulis di buku motivasi, seharusnya kita memiliki otak yang seperti bayi, kita harusnya punya 100 triliun triliun sambungan dsb. Betapa besarnya potensi yang kita sia-siakan. Ingin memanfaatkannya? Belilah buku saya atau ikutlah metode saya, kata motivator.
Tetapi
Ada mengenali kejanggalan? Orang dewasa hanya punya 500 triliun sambungan, tapi jelas kita lebih pintar dari bayi berusia 3 tahun yang punya 1000 triliun sambungan. Bukankah jika jumlah sambungan merupakan indikator belajar maka kita lebih bodoh dari sang bayi?
Begini, prinsip yang digunakan dalam pembentukan sambungan di otak adalah pakai atau hilang. Artinya kalau sambungan tersebut tidak dipakai, ia akan hilang. Sambungan itu ada yang sementara dan ada yang permanen. Pertama kali mengucapkan kata mama pada bayi, membentuk sambungan di otak sang bayi. Tapi sambungan ini masih sementara. Jika ibu mengucapkan kata ibu berulang-ulang, seperti saat bermain atau apa saja yang relevan, sambungan menjadi permanen dan terlestarikan sehingga sang bayi memahami konsep mama secara penuh.
500 triliun sambungan di otak dewasa tersebut sudah terseleksi dari 1000 triliun itu, hanya yang terbaik, yang dipandang penting bagi kita dan kelangsungan hidup kita. Tidak ada cukup waktu untuk membentuk triliunan lagi sambungan karena otak kita sudah tidak sefleksibel otak bayi, kita sudah lewat masa keemasan pertumbuhan.
Analogi yang mudah adalah membayangkan kalau otak itu seperti sebuah rumah. Ada banyak ruang kosong di rumah anda bukan? Rumah anda berpotensi untuk menampung, katakanlah 6 ribu buku. Tapi  apakah anda mau memenuhi rumah anda dengan 6 ribu buku?
Seperti itu. Otak punya potensi menciptakan triliun triliun triliunan sambungan, tetapi apa kita perlu mewujudkannya? Bisa jadi orang dengan sambungan otak 100% penuh malah tidak dapat melakukan apa-apa karena tidak mampu lagi melakukan pengerangkaan (framing) terhadap alam sekitarnya.
Secara fisika, semakin banyak sambungan tentu semakin banyak energi. Dengan kondisi normal saja, otak memakan 20% energi tubuh, bagaimana dengan 100% sambungan. Lalu secara kimia, bila terlalu padat, kemungkinan sinyal mengalami kesalahan rute semakin besar, akibatnya terjadi konsleting di otak. Kejang-kejang mungkin?
Setelah kita melewati masa balita dan mulai sekolah, otak mulai kehilangan plastisitasnya. Walaupun jumlah bahan yang kita pelajari jauh lebih banyak dari yang dipelajari bayi, tapi sambungan baru yang permanen sulit terbentuk. Bagi para pendidik, hal ini membuat mereka sibuk merancang metode pembelajaran yang efisien. Bagi para motivator, hal ini membuat mereka sibuk merancang cara mendapatkan uang besar dari menjual harapan percepatan belajar.
Bagi fakta ilmiah, ini kembali pada evolusi. Gen yang memperpanjang plastisitas otak dibantu faktor lingkungan yang mendukung belajar menghasilkan sambungan di otak yang permanen dan menciptakan apa yang disebut sebagai orang cerdas. Gen setiap orang berbeda, lingkungan setiap orang berbeda, dan karenanya pendidikan yang efektif adalah pendidikan yang menghargai dan berfokus pada perbedaan ini. Dan jika benar-benar ingin menghasilkan anak cemerlang, mulailah sejak awal dengan berbicara, bernyanyi, bermain dan membaca bersama anak. Berbicaralah dengan bayi walaupun ia tidak memahaminya karena justru dari suara ibu ia belajar memahami. Tidak perlulah membuang banyak uang untuk pendidikan mahal yang diragukan sains.
Referensi
Brotherson, S. “Understanding Brain Development in Young Children,” Bright Beginnings #4, April 2005.
Jensen, E. Teaching with the Brain in Mind, Association for Supervision and Curriculum Development, 1998.
Siegel, D.J. The Developing Mind, New York: Guilford Press, 1999.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar