Sabtu, 16 April 2011

Setiap Hari 40 Orang Meninggal Akibat Napza

Jakarta-Penyalahgunaan narkotika dan zat adiktif (napza) di Indonesia merupakan masalah yang sangat mengkhawatirkan. Posisi Indonesia sekarang ini tidak hanya sebagai daerah transit maupun pemasaran napza, melainkan sudah menjadi daerah produsen napza.

"Hal ini dibuktikan dengan terungkapnya pabrik-pabrik pembuatan napza di Indonesia dan terungkapnya impor prekusor atau bahan pembuat napza dalam bentuk besar dari luar negeri ke Indonesia," ujar Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah dalam sambutannya yang dibacakan oleh Dirjen Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Makmur Sunusi pada Penyuluhan Sosial Dalam Rehabilitasi Sosial Penyalahgunaan Napza, di Jakarta, Senin (30/6). Kegiatan ini diselenggarakan dalam rangka memperingati Hari Anti Narkoba Internasional (HANI).
Menurut Mensos, letak Indonesia yang sangat strategis dan tidak jauh dari daerah segi tiga emas (Laos, Thailand, dan Myanmar) dan daerah Bulan Sabit (Iran, Afganistan, dan Pakistan) yang merupakan daerah penghasil opium terbesar di dunia, menjadikan Indonesia sebagai lalu lintas gelap napza.
Mensos menambahkan BNN memperkirakan ada sekitar 1,5 persen dari jumlah penduduk Indonesia atau sekitar 3,2 juta orang yang sudah menjadi korban napza. Dari jumlah tersebut, ada 800.000 pengguna napza jarum suntik dan 60 persen dari jumlah tersebut sudah terinfeksi HIV/AIDS. "Diperkirakan setiap tahun ada 15.000 orang Indonesia yang meninggal dunia akibat overdosis dan juga terinfeksi HIV/AIDS," lanjutnya.
Bila jumlah tersebut dirata-ratakan per hari, setiap hari ada 40 orang Indonesia meninggal dunia akibat napza. 

Anak-anak
Mensos menambahkan napza juga sudah menyerang anak-anak. Hal ini terbukti dengan terungkapnya 6 murid TK di Jakarta Selatan yang tak sengaja mengonsumsi napza jenis Happy Five. "Jika anak-anak prasekolah sudah mulai jadi korban, sudah tidak wajar kalau masyarakat, pemerintah, dan komponen bangsa tidak merasa prihatin dan khawatir," katanya.
Sementara itu, Dirjen Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Makmur Sunusi mengatakan masalah narkoba merupakan masalah internasional karena termasuk dalam trafficking napza. Menurutnya, secara ekonomi, pembelanjaan untuk napza juga meningkat. Pada tahun 2004 diperkirakan Rp 23,6 triliun dengan jumlah penyalahguna 2,9 juta sampai 3,6 juta.
Jumlah tersebut belum ditambah dengan biaya pencegahan, perawatan medis dan rehabilitasi sosial yang dikeluarkan oleh pemerintah dan masyarakat. "Memulihkan korban napza bukan hal yang mudah dan membutuhkan kesungguhan. Stigma negatif di masyarakat juga masih tinggi dan membuat eks klien terhambat secara psikologi," ujar Makmur Sunusi.
Dia menambahkan di bidang rehabilitasi sosial Depsos menghadapi keterbatasan jangkauan pelayanan. Depsos saat ini hanya memiliki 2 panti percontohan untuk korban napza, 7 panti milik pemda dan 78 panti milik masyarakat dengan rata-rata daya tampung per tahun sekitar 25 orang.
"Korban napza perlu diperlakukan dalam konteks pengembangan investasi sosial yang akan sangat bermanfaat bagi diri dan lingkungan sosialnya. Dan untuk mengubah korban penyalahgunaan napza menjadi insan yang produktif bukan persoalan yang mudah," lanjutnya.
Dia mengakui banyak kendala dalam melaksanakan pemulihan penyalahgunaan Napza diantaranya aspek hukum yang masih menempatkan korban napza sebagai pelaku tindak pidana sehinga tak jarang terjadi benturan antara petugas rehabilitasi dengan para penegak hukum di lapangan.
Makmur Sunusi mengatakan para petugas rehabilitasi melihat dari perspektif pelayanan kemanusiaan, sedangkan penegak hukum melihat dari perspektif legal formal. "Terlepas dari hal tersebut, para korban napza perlu mendapatkan perlindungan sosial. Di sini perlu diperjelas bahwa pendekatan tersebut bukan berarti kita melindungi para penyalahguna napza, tetapi kita berusaha memberikan upaya perlindungan," katanya. (stevani elisabeth)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar