Sabtu, 16 April 2011

Pencarian Materi Gelap Selangkah Lebih Dekat

Sabtu, 16 April 2011 - Materi gelap, zat misterius yang dapat bertanggung jawab atas 25 persen alam semesta, sejauh ini masih belum berhasil diamati secara langsung. Namun para peneliti dari UCLA, Universitas Columbia dan lembaga lain yang ikut serta dalam kerjasama XENON mengatakan kalau kita semakin dekat.
Hasil baru mereka, dikabarkan di Laboratorium Nasional Gran Sasso di Italia tanggal 14 April 2011, adalah eksperimen XENON yang ditempatkan jauh dibawah gunung 112 km di sebelah barat Roma, menjadi pencari materi gelap paling sensitif di dunia dengan derau latar belakang 100 kali lebih rendah daripada sebelumnya.
Materi gelap dipandang luas sebagai sejenis partikel dasar masif yang berinteraksi lemah dengan materi biasa. Para fisikawan menyebutnya WIMPS, yang berarti Weakly Interacting Massive Paticles. Para peneliti XENON menggunakan detektor materi gelap yang disebut XENON100 – sebuah instrumen yang ditenggelampkan pada lebih dari 50 kg xenon cair – sebagai target WIMP yang diduga mengalir konstan menembus tata surya dan Bumi.
Dan sementara eksperimen XENON100 belum menemukan sinyal materi gelap dalam 100 hari pengujian, para peneliti menghitung batas atas massa WIMP dan kemungkinan interaksinya dengan partikel lain, kata profesor fisika Katsushi Arisaka dari UCLA, anggota tim internasional ini.
XENON100 mencari kilatan cahaya yang terjadi ketika sebuah partikel memantulkan atom xenon di dalam detektor dan kilatan kedua ketika elektron tertendang dari atom xenon oleh tumbukan ini dan dipercepat ke bagian atas detektor lewat medan listrik, kata peneliti fisika UCLA, Hanguo Wang, yang bekerja bersama dengan Arisaka. Dengan konfigurasi ini, WIMP akan membangkitkan sinyal yang pada dasarnya berbeda dari radiasi kosmik atau emisi dari alat itu sendiri, memungkinkan mengidentifikasi pembacaan latar belakang yang dapat salah diduga sebagai deteksi positif, katanya.
Walaupun eksperimen ini tidak mendeteksi WIMP, kemajuan ini menyusun anak tangga untuk proek generasi selanjutnya yang lebih ambisius, yaitu XENON1T yang akan menggunakan instrumen xenon cair satu ton dengan detektor cahaya sangat khusus yang dikembangkan di UCLA yang 100 kali lebih sensitif dari XENON100, kata David Cline, profesor fisika UCLA dan pendiri kelompok materi gelap UCLA.
Pencarian materi gelap
Materi biasa, yang menyusun bintang, planet, gas dan debu di galaksi kita, memancarkan atau memantulkan cahaya yang dapat diamati dengan teleskop di Bumi atau ruang angkasa. Namun pengaruh materi gelap, menurut beberapa teori, dapat diamati hanya secara tidak langsung lewat gaya gravitasi yang diberikan oleh bagian yang lebih tampak dari galaksi di sekitar kita, kata Cline.
Walau perbedaan antara materi gelap dan biasa, ahli kosmologi percaya kalau keduanya terhubung sejak awal alam semesta, dengan materi gelap berperang kunci dalam menggerombolkan partikel menjadi bintang, galaksi dan struktur skala besar lainnya setelah Big Bang.
Walau materi gelap memberi gaya yang besar pada galaksi secara keseluruhan, individu WIMP terbukti sangat sulit dideteksi. Karena partikel ini hanya berinteraksi sangat lemah dengan materi gelap, sinyal kecil yang dapat datang dari deteksi WIMP di atas tanah akan tenggelam oleh radiasi kosmik yang secara tetap membombardir permukaan Bumi, kata Cline.
Untuk menghapus mayoritas derau latar belakang ini, eksperimen XENON100 ditanam dibawah batuan hampir 1,5 km di laboratorium Gran Sasso, fasilitas bawah tanah terbesar dari jenis ini di dunia. Sementara partikel materi gelap dapat bergerak mudah menembus batuan dan detektor, akan ada partikel yang paling energetik dari luar angkasa yang mampu kita deteksi, kata Arisaka.
Langkah selanjutnya
Karena eksperimen XENON100 dilindungi oleh batuan raksasa, dan beberapa ton tembaga, timbal dan air, sumber terbesar deteksi latar belakang sesungguhnya datang dari radiasi instrumen itu sendiri, kata Arisaka.
Dalam usaha memecahkan masalah ini, Arisaka dan Wang, bekerja sama dengan Hamamatsu Photonics di Jepang, telah mengembangkan Quartz Photon Intensifying Detector (QUPID), sebuah teknologi pendeteksi cahaya baru yang tidak memancarkan radiasi. Kelompok XENON berharap menerapkan teknologi mutakhir ini pada eksperimen XENON1T di masa depan.
“Kami telah mengembangkan sebuah detektor untuk digunakan dalam eksperimen masa depan berbasis teknologi detektor foton tercanggih,” kata Wang. “Kami menemukan, menguji dan menunjukkan operasinya dalam xenon cair di laboratorium kami di UCLA.”
Selain Arisaka, Cline dan Wang, kelompok XENON UCLA mencakup sarjana pascadoktoral Emilija Pantic dan Paolo Beltrame serta mahasiswa pasca sarjana Artin Teymourian dan Kevin Lung. Dua mahasiswa, Ethan Brown dan Michael Lam, berhasil meraih gelar doktor tahun lalu lewat eksperimen ini.
Kolaborasi XENON melibatkan 60 ilmuan dari 14 lembaga di AS (UCLA, Columbia University, Rice University); China (Shanghai Jiao Tong University); Perancis  (Subatech Nantes); Jerman (Max-Planck-Institut Heidelberg, Johannes Gutenberg University Mainz, Willhelms Universität Münster); Israel (Weizmann Institute of Science); Italia (Laboratori Nazionali del Gran Sasso, INFN e Università di Bologna); Belanda (Nikhef Amsterdam); Portugal (Universidade de Coimbra); dan Swiss (Universität Zürich).
XENON100 didukung oleh lembaga yang ikut serta serta oleh Yayasan Sains Nasional dan Kementrian Energi AS, serta Yayasan Nasional Swiss, Institut national de physique des particules et de physique nucléaire dan La Région des Pays de la Loire dari Perancis ; Max-Planck-Society dan Deutsche Forschungsgemeinschaft dari Jerman; German-Israeli Minerva Gesellschaft dan GIF dari Israel ; FOM dari Belanda; Fundação para a Ciência e Tecnologia dari Portugal; Instituto Nazionale di Fisica Nucleare dari Italia; dan STCSM dari China.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar